Seberapa besar usahaku mencoba untuk bertahan, namun ternyata tetap saja daun kering ini gugur dan hancur berkeping-keping. Padahal sudah berkali-kali fikiran rasionalku menguatkan tekad, namun tetap saja hati ini lagi-lagi tak pandai berdusta. Semua hilang, semua lepas, semua hancur dan tak bersisa, hanya karena sebuah tetesan bening yang mengalir dari sudut jendela jiwa.
Aku memang lemah, selalu kembali harus merasa terganggu pada permasalahan yang tak begitu penting dan selalu saja mengeluhkan segala keadaan. Padahal, beberapa waktu yang lalu, aku cukup bahagia karena telah cukup mampu menata hati dan fikiranku agar berjalan selaras dan seimbang. Namun, entah mengapa, fikiran-fikiran negatif itu kembali terbersit dalam benakku dan menari-nari dalam kepalaku.
Aku tergoda, tergoda untuk mengikuti alur cerita yang ditawarkan bayangan-bayangan semu itu. Aku tergoda untuk ingin kembali mencicipi rasa mereguk anggur merah penuh kepalsuan itu. Aku tergoda untuk menyusuri dan mencari kenyataan sebenarnya dibalik kilasan-kilasan fatamorgana itu. Hingga akhirnya, dengan bodohnya aku pun mengikuti semua alur ceritanya dari awal hingga akhir. Lalu di akhir cerita, akulah yang pada akhirnya kembali harus menderita, karena memang segalanya hanyalah fatamorgana dan sebuah kepalsuan belaka.
Ini bukan cerita tentang aku menikmati suatu kisah, tapi ini adalah kisahku. Ini adalah cerita tentang hidupku. Hidupku yang tak pernah lurus menembus waktu, hidupku yang selalu penuh lika-liku, dan hidupku yang selalu ku isi dengan hal-hal yang menjadikanku berfikir bahwa hidup ini tak seindah yang pernah kudengar dan kulihat di masa kecilku. Ya, tapi lagi-lagi semua memang hanya karena sebuah persepsi. Persepsiku sendiri dalam meyikapi kehidupan ini.
Dan hari ini, kesabaranku harus kembali diuji. Penerimaan itu masih belum seutuhnya sempurna. Masih ada sebuah pamrih di dalam sanubari yang masih belum mampu terlepaskan. Ya, sebuah pengharapan. Harapan semu itu masih melekat erat disana, masih enggan untuk meninggalkan persemayamannya yang nyaman di sudut relung jiwaku. Dan aku dengan bodohnya masih saja membiarkan kepongahannya merajaiku. Masih saja menggenggam bara yang jelas-jelas tahu hanya akan membuat diriku terbakar jika tak membuangnya dan melepaskannya dari tanganku.
Haahhh...
Ternyata tidak semudah itu. Ibarat berjalan disebuah lorong yang gelap dan hanya ditemani sebuah lilin yang hampir habis. Pilihanku hanya ada dua, pertama membiarkan lilin itu tetap menyala agar dapat menuju ujung jalan dengan temaram cahaya, walau itu berarti membiarkan tanganku terluka dan terbakar terkena lelehan lilin yang melukai telapak tangan serta jari-jemariku. Atau membiarkan lilin itu padam dan membuangnya, namun resikonya aku akan diselimuti kegelapan sepanjang jalan dan meraba-raba untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak ada yang menyenangkan memang. Tapi memang setiap pilihan selalu dengan resikonya masing-masing. Dan dalam kehidupan, sayangnya tidak ada istilah 'GOLPUT'. Kau tetap harus memilih. Apapun resikonya, hidupmu tetap akan terus berjalan dan waktumu tetap akan terus berlalu. Jadi, mau tidak mau, siap ataupun tidak siap, kau tetap harus memilih. Memilih untuk melanjutkan hidupmu atau tetap berdiri di zona hampa waktu dan terkungkung dalam kenangan keindahan semu bak fatamorgana dari masa lalumu...
0 komentar:
Posting Komentar