Sabtu, 06 Desember 2014

Masih Tersisa

Embun masih basah saat kupaksakan kakiku yang beku melangkah cepat memerobos pekatnya pagi. Gelap masih merayap di seantero pandanganku saat suara rerumputan basah terdengar menyapa kakiku yang dingin dan lemah. Kuseret-seret langkah ini menuju ke satu-satunya sumber cahaya yang kutemukan. Diujunh sana. Setitik kecil, redup dan berkelip-kelip seolah hendak padam. 

Kuhentakkan kaki ini berkali-kali disemak belukar yang menjerat. Entah sudah berapa kali aku terjatuh dan tergores rerumputan yang tajam. Namun, Aku tak peduli. Yang kutahu, Kakiku harus sanggup membawaku kesana. Sebelum ia padam lalu menghilang. Meninggalkanku sendirian dalam kegelapan malam yang mencekam. Dalam keheningan dan kehampaan.

Mungkin fajar akan datang menyinari alam. Tapi tidak dengan ruhku yang kering kerontang. Aku butuh oase luas untuk menuntaskan dahaga yang telah lama menyiksa. Aku butuh penerangan setelah lama tersesat dalam rimba tak bertuan.

Lelah ini. Sakit ini. Derita ini. Luka dan kecewa ini masih belum seberapa dibanding harus kembali merajam jiwa dalam tawa hampa yang penuh kepalsuan.

Sudahlah.

Sebentar lagi fajar mungkin akan tiba. Sebelum jiwaku beku dan kelu. Kupercepat langkahku meski harus membunuh rasa ngilu yang semakin lama semakin menderu.

Aku tak punya pilihan. Jika berhenti, maka aku pasti mati. Jika berjalan, belum tentu aku memdapatkan yang kuharapkan. Tapi aku tetap tidak punya pilihan lagi. Dari pada kehancuranku sia-sia. Lebih baik bersimbah darah tapi setidaknya aku tangah memperjuangkan sesuatu yang berharga. Setidaknya, disisa tenagaku yang mulai lemah dan redup. Aku masih berani berjuang saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan tumbang.

0 komentar:

Posting Komentar